JT - Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menegaskan pentingnya pemberantasan rokok ilegal di Indonesia. Menurutnya, peredaran rokok ilegal dapat merusak penerimaan negara dari cukai, yang selama ini menjadi salah satu tulang punggung pendapatan nasional.
"Rokok ilegal merupakan tantangan serius yang harus segera diatasi oleh Bea Cukai. Rokok ilegal jelas merusak penerimaan negara," kata Misbakhun dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Baca juga : Libur Panjang Imlek, Kemenhub Cek Persyaratan 118 Bus Wisata
Ia menjelaskan, tingginya tarif cukai dan aturan harga jual eceran (HJE) yang menekan segmen rokok tertentu mendorong munculnya praktik ilegal. Banyak pelaku memanipulasi klasifikasi produk, bahkan menjual rokok polos tanpa pita cukai.
"Fenomena ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Kita juga tidak boleh mengabaikan akar permasalahannya. Cukai adalah salah satu penopang utama penerimaan negara dengan kontribusi lebih dari Rp200 triliun setiap tahunnya," ujarnya.
Misbakhun menekankan perlunya pengawasan yang ketat serta kebijakan yang adil agar industri rokok tetap sehat dan berkelanjutan. Ia juga mendorong kolaborasi lintas pemerintah, pelaku industri, dan pemangku kepentingan lainnya untuk duduk bersama mencari solusi.
Baca juga : Kadin Dorong Perluasan QRIS di Luar Jawa dan Tingkatkan Literasi Digital
Menurutnya, pelaku rokok ilegal juga perlu dibina agar menjadi pelaku usaha yang tertib. "Mereka juga menyerap tenaga kerja dan menyediakan alat produksi tembakau. Jika tidak ada kebijakan yang adil, industri kecil akan semakin terdesak dan berpotensi masuk kategori ilegal. Ini tentu tidak kita harapkan," tegasnya.
Sebelumnya, saat mendampingi kunjungan kerja Komisi XI DPR RI ke Kudus, Jawa Tengah, Selasa (15/04), Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Askolani, mengungkapkan bahwa berdasarkan data Kemenkeu, sepanjang 2024 pelanggaran rokok ilegal didominasi oleh rokok polos (tanpa pita cukai) sebesar 95,44 persen, disusul rokok palsu 1,95 persen, salah peruntukan (saltuk) 1,13 persen, rokok bekas 0,51 persen, dan salah personalisasi (salson) 0,37 persen. Potensi kerugian negara akibat pelanggaran tersebut diperkirakan mencapai Rp97,81 triliun.