JT - Pakar hukum Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), Profesor Suparji Ahmad, mengkritik wacana penempatan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) di bawah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Menurutnya, langkah tersebut berpotensi memperbesar politisasi, terutama jika Menteri Dalam Negeri berasal dari partai politik.
“Kalau sekarang ada semacam politisasi di Polri, potensi itu akan lebih tinggi jika Polri berada di Kemendagri, apalagi jika menterinya berasal dari partai politik. Hal ini justru berisiko dan berbahaya,” kata Suparji di Jakarta, Senin (2/12).
Baca juga : Menkes: Urus STR Tenaga Medis dan Kesehatan Tidak Dikenakan Biaya
Ia menambahkan, pemindahan Polri ke bawah Kemendagri juga akan mempersempit kewenangan fungsi kepolisian yang sejatinya melayani masyarakat secara keseluruhan.
“Jika hanya menjadi inspektorat kementerian, fungsi Polri akan sangat terbatas, padahal Polri melayani berbagai aspek kehidupan masyarakat,” ujarnya.
Menurut Suparji, permasalahan utama yang harus dibenahi adalah pengawasan terhadap oknum kepolisian, khususnya dalam masa pemilu, bukan struktur organisasinya.
“Bukan soal di bawah presiden atau Kemendagri, tetapi bagaimana menempatkan Polri sebagai alat negara yang netral dan profesional,” tegasnya.
Ia juga menilai bahwa wacana tersebut tidak memiliki landasan filosofis, sosiologis, atau prosedural yang kuat.
“Ini seperti lagu lama yang diputar kembali, tetapi syairnya tidak relevan dengan konteks saat ini,” imbuh Suparji.
Baca juga : TB Hasanuddin Minta Panglima TNI Tarik Prajurit Aktif dari Jabatan Sipil di Luar 14 Kementerian/Lembaga
Wacana ini sebelumnya diusulkan oleh politisi PDIP, Deddy Yevri Sitorus, pada konferensi pers Kamis (28/11). Deddy mengusulkan agar Polri berada di bawah kendali Panglima TNI atau Kemendagri untuk mengurangi potensi intervensi pada pemilu.
“Polri sebaiknya fokus pada pengamanan masyarakat selama pemilu, tanpa terlibat dalam hal-hal di luar kewenangannya,” ujar Deddy.