JAKARTATERKINI.ID - Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Paru Indonesia (PDPI), Prof. Dr. dr. Agus Dwi Susanto, menyoroti kesalahan persepsi masyarakat terkait rokok elektrik atau vape.
"Masyarakat berpikir bahwa nikotinnya (di rokok elektrik) lebih rendah dan bisa dipakai untuk terapi berhenti merokok atau pengganti terapi. Itu sebanyak 76,7 persen," katanya dalam taklimat media yang diikuti secara daring di Jakarta, Selasa.
Baca juga : Peneliti: Tembakau Alternatif Menjadi Pilihan untuk Mengurangi Kebiasaan Merokok
Agus mengemukakan hasil riset pada 2021 yang mencatat bahwa sebanyak 17,2 persen dari 937 responden di Jakarta menggunakan rokok elektrik karena alasan rasa, 3,4 persen karena trik asap, dan 1,7 persen mengikuti tren.
Namun, Agus menilai bahwa rokok elektrik tidak berbeda jauh dengan rokok konvensional karena keduanya sama-sama mengandung zat berbahaya bagi tubuh.
"Fakta bahwa rokok konvensional maupun rokok elektrik sama-sama mengandung bahan adiktif yang bersifat iritatif dan merangsang peradangan inflamasi," ujarnya.
Baca juga : Terbanyak Sepanjang Sejarah, Lagu Syantik 700 Juta Penayangan di Youtube
Agus menjelaskan bahwa baik rokok elektrik maupun rokok konvensional mengandung nikotin, zat karsinogen (penyebab kanker), serta bahan toksik lainnya yang bersifat iritatif. Meskipun uap pada rokok elektrik tidak mengandung karbon monoksida (CO) dan TAR.
Lebih lanjut, ia menyebut beberapa bahan berbahaya dalam rokok elektrik seperti nikotin yang berpotensi menyebabkan ketergantungan, nitrosamin yang berpotensi menjadi zat karsinogen, gliserol/glikol yang berpotensi menyebabkan iritasi saluran napas dan paru-paru, dan lain sebagainya.