JT – Pakar hukum pidana dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Chairul Huda, menyoroti potensi hukuman berlebihan atau overpenalization dalam gugatan yang diajukan PT Timah Tbk. ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut Chairul, jika gugatan tersebut dikabulkan, maka pidana yang dijatuhkan kepada individu yang memperkaya diri sendiri akan digandakan dengan pidana terhadap pihak lain, baik perorangan maupun korporasi, yang juga mendapatkan keuntungan dari tindak pidana korupsi tersebut.
Baca juga : Bakamla Siagakan Personel dan Kapal untuk Amankan Mudik Lebaran 2025
"Terlebih dalam kasus korupsi tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah, angka kerugian negara sebesar Rp300 triliun bukan angka riil, melainkan potensi kerugian akibat kerusakan lingkungan," ujar Chairul dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu.
Chairul berpendapat bahwa dalam praktik eksplorasi dan eksploitasi wilayah tambang timah, PT Timah merupakan pihak yang lebih banyak menikmati hasilnya. Oleh karena itu, ia menilai PT Timah semestinya diberi sanksi, tetapi bukan berdasarkan Undang-Undang (UU) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, melainkan melalui UU yang lebih spesifik, seperti UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) atau UU Lingkungan Hidup.
"Sebab, kerugian yang dianggap ada dalam kasus ini bukanlah kerugian keuangan negara, melainkan potensi kerugian akibat kerusakan lingkungan," katanya.
Baca juga : Kemensos Rencanakan Evaluasi Penerima Bansos Setiap 5 Tahun
Sebelumnya, PT Timah mengajukan gugatan ke MK untuk mengubah Pasal 18 ayat (1) huruf b dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Gugatan itu didaftarkan pada 3 Maret 2025 melalui kuasa hukumnya, dengan alasan bahwa pasal tersebut sudah tidak relevan dalam konteks perkara korupsi timah.
Pasal 18 ayat (1) huruf b dalam UU yang berlaku saat ini mengatur bahwa pembayaran uang pengganti oleh pelaku korupsi sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana tersebut.