JT - Vebriani Hembring (24), perempuan asal Lembah Grime Nawa, Papua, memiliki tekad kuat untuk melestarikan kebudayaan Suku Namblong di Distrik Nimboran, Kabupaten Jayapura.
Sebagai generasi muda adat, anak ketiga dari keluarga pekebun vanili dan kakao ini memahami bahwa menjaga bahasa Namblong berarti menyelamatkan sukunya dari kepunahan.
Baca juga : Komunitas Bakul Budaya Meriahkan Cap Go Meh di Kampus UI
"Mungkin, 2030 nanti bahasa Suku Namblong sudah tidak ada lagi. Jumlah penuturnya kini hanya 20 persen dari populasi suku kami, dan itu pun kebanyakan lansia," kata Vebri saat berbincang di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Injo Yamo, Desa Adat Benyom, Distrik Nimboran, Kabupaten Jayapura, Papua, Minggu (9/2).
Sekolah budaya nonformal ini, yang berarti "Sekolah Budaya" dalam bahasa Namblong, digagas oleh Organisasi Gerakan Perempuan Adat (ORPA) Suku Namblong di bawah asuhan Rosita Tecuari (42). Dengan 40 peserta didik berusia 4 hingga 15 tahun, sekolah ini menjadi jembatan lintas generasi untuk mewariskan budaya leluhur.
Vebri memperkenalkan bahasa Namblong kepada generasi muda melalui berbagai cara, termasuk mengajak para penutur bahasa untuk terlibat dalam kegiatan menganyam noken, tas tradisional Papua.
Baca juga : HAE IPB Selenggarakan "Bogor Go Green" Sebagai Upaya Pelestarian Lingkungan
"Saat kami berkumpul membuat noken, kami juga belajar bahasa. Mulai dari pemilihan bahan hingga simpul ikatan, semuanya punya istilah dalam bahasa Namblong," ujarnya.
Selain lewat noken, warisan bahasa juga diteruskan melalui nyanyian adat seperti "Nyanyian Burung Cendrawasih," yang liriknya menggambarkan keindahan burung khas Papua.