JAKARTATERKINI.ID - Bendahara Umum Hipmi Bali, Agung Bagus Pratiksa Linggih, menyatakan bahwa industri pariwisata masih membutuhkan keringanan pajak karena belum pulih sepenuhnya setelah terdampak pandemi COVID-19. Linggih mengkritik peningkatan tarif pajak jasa hiburan hingga 40 persen di Bali, menyebutnya bukan sebagai alternatif yang tepat.
Menurut Linggih, pentingnya memberikan keringanan pajak sejalan dengan peningkatan belanja pemerintah. Ia juga menekankan persaingan pariwisata di Pulau Dewata dengan negara-negara di Asia Tenggara, seperti Thailand, yang menurunkan pajak pariwisata hingga lima persen.
Baca juga : Harga Emas Antam Meningkat Rp18 Ribu, Capai Rp1.419.000 per Gram
Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT), terutama pada jasa hiburan, mengalami kenaikan yang dianggap memberatkan di Bali. Linggih menyoroti dampaknya terhadap pelaku pariwisata, khususnya UMKM. Belum lagi rencana pungutan tambahan sebesar Rp150 ribu per orang atau setara dengan 10 dolar AS pada 14 Februari 2024, yang akan membebani wisatawan mancanegara.
Pengusaha muda ini, yang aktif di bisnis minuman anggur, kuliner, dan periklanan, menunjukkan bahwa kenaikan tarif pajak dapat menyulitkan pelaku pariwisata. Ia menyoroti ketidakmerataan ekonomi di Bali, dengan hotel-hotel di Bali Utara hanya terisi sekitar 50 persen, yang membatasi pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut.
Kenaikan tarif pajak jasa hiburan diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Pasal 58 ayat 2 dalam UU tersebut menetapkan tarif PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa, antara 40 persen hingga 75 persen. Beberapa daerah, termasuk Kabupaten Badung, Bali, telah menyesuaikan tarif pajak menjadi 40 persen dari sebelumnya 15 persen.
Baca juga : KPBS Pangalengan Berpeluang Menjadi Pemasok Susu untuk Program MBG