JT – Wakil Ketua MPR RI sekaligus anggota Komisi X DPR RI, Lestari Moerdijat, menekankan pentingnya pembenahan tumpang tindih regulasi dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, yang harus diawali dengan pemetaan aturan yang jelas.
"Karena antara peraturan satu dan lainnya jelas-jelas bertentangan, maka penting untuk menetapkan prioritas aturan mana yang krusial untuk dibenahi," ujar Lestari, yang akrab disapa Rerie, dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Baca juga : KPK: Miryam Haryani Siap Penuhi Panggilan Penyidik
Pernyataan tersebut ia sampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Komisi X DPR RI bersama Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri Indonesia (MRPTNI) di Kompleks Parlemen, Senayan, Rabu (27/2).
Salah satu contoh regulasi yang tumpang tindih, menurut Rerie, adalah Pasal 26 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tahun 2009 yang mewajibkan dosen meningkatkan kompetensi melalui pendidikan dan pelatihan (diklat), seminar, serta lokakarya. Sementara itu, PP Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) menetapkan pengembangan kompetensi dosen dalam batas waktu maksimal 24 jam pelajaran per tahun masa perjanjian kerja.
"Tumpang tindih aturan ini melahirkan tafsir beragam dan harus segera diperbaiki. Kita harus membiasakan diri untuk tidak menabrak aturan yang ada," tegasnya.
Baca juga : Anggota Komisi III DPR RI Tegaskan Tak Ada Toleransi bagi Keterlibatan DPR dalam Judi Online
Dalam kesempatan tersebut, Rerie juga mendukung usulan MRPTNI terkait relaksasi blokir efisiensi anggaran pada program prioritas sebagai dampak dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Belanja dalam APBN dan APBD Tahun Anggaran 2025.
Ia menilai relaksasi blokir anggaran diperlukan untuk penyelenggaraan Tri Dharma Perguruan Tinggi, seperti Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN), Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN), Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), Bantuan Rawan Melanjutkan Pendidikan (RMP), serta Penerimaan Negara Bukan Pajak/Badan Layanan Umum (PNBP/BLU).