JT – Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyatakan bahwa perampasan hak asuh anak oleh mantan suami merupakan tindak kekerasan berbasis gender terhadap perempuan.
Menurut Komnas Perempuan, tindakan tersebut sering dilakukan oleh mantan suami sebagai cara untuk mempertahankan kendali atau sebagai bentuk balas dendam setelah mantan istri bersikeras bercerai.
Baca juga : KemenPPPA: UU KIA Jamin Hak Perempuan Bekerja Meski Memiliki Anak
"Tindak perampasan hak asuh anak ini menyebabkan penderitaan psikis yang berkepanjangan dan dapat berdampak pada kesehatan rohani dan jasmani perempuan," kata Komisioner Komnas Perempuan, Andy Yentriyani, Alimatul Qibtiyah, dan Theresia Iswarini dalam pernyataan bersama yang diterima di Jakarta, Sabtu (28/9).
Komnas Perempuan juga mencatat bahwa perampasan hak asuh anak adalah kasus yang sering dilaporkan, di mana sepertiga atau 93 dari total 309 kasus kekerasan oleh mantan suami (KMS) antara 2019 hingga 2023 terkait dengan pengasuhan anak. Dari jumlah tersebut, 44 kasus terjadi meskipun pengadilan telah memberikan hak pengasuhan anak kepada ibu.
Tindakan perebutan hak asuh anak, sering kali dilakukan saat proses perceraian masih berlangsung, dengan beberapa suami menyembunyikan atau memutus hubungan anak dengan ibunya untuk menekan istri agar tidak menggugat cerai.
Baca juga : Komnas Perempuan: 103 Kasus TPKS Akibatkan Kehamilan Sejak 2018
Menanggapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 140/PUU-XXI/2023, Komnas Perempuan mengapresiasi keputusan tersebut yang menegaskan bahwa orang tua kandung yang mengambil anak secara paksa tanpa hak atau izin dapat dipidana. Putusan ini dianggap sebagai langkah penting untuk memperkuat akses perempuan terhadap keadilan dan kepastian hukum dalam kasus perebutan hak asuh anak pascaperceraian. * * *