JT - Pengajar di Program Studi Administrasi Keuangan dan Perbankan, Program Pendidikan Vokasi, Universitas Indonesia (UI), Vindaniar Yuristamanda Putri, mengungkapkan bahwa literasi keuangan yang rendah menjadi salah satu pemicu maraknya judi online di Indonesia.
"Judi online semakin marak karena iklan yang begitu masif dan kemudahan masyarakat dalam mengakses platform judi online tersebut. Walau tidak secara langsung muncul di laman setiap orang, iklan judi online tetap muncul dengan mengikuti algoritma pengguna internet," kata Vindaniar di Kampus UI Depok, Rabu.
Baca juga : Presiden Pastikan Tidak Ada Bansos untuk Korban Judi Online
Berdasarkan data dari Drone Emprit, Indonesia menempati posisi pertama di dunia sebagai negara dengan pemain judi online terbanyak, yakni 201.122 orang pada tahun ini.
"Contohnya, jika seseorang pernah mencari informasi tentang judi online di mesin pencarian, maka tidak menutup kemungkinan iklan-iklan judi online muncul di media sosialnya. Iklan tersebut juga tidak secara eksplisit bertuliskan judi online," jelasnya.
Vindaniar menambahkan bahwa iklan dengan tampilan dan animasi yang menarik membuat orang tertarik untuk masuk ke dalam aplikasi dan bermain tanpa menyadari bahwa permainan tersebut termasuk judi. Menurut Pasal 303 KUHP, judi adalah permainan yang dilarang karena kemungkinan menang dari permainan tersebut hanya bergantung pada peruntungan saja.
Baca juga : Sufmi Dasco: Ada Menteri di Kabinet Prabowo yang Kurang Seirama
Salah satu faktor yang mendorong seseorang melakukan judi online adalah faktor psikologis, seperti rasa penasaran. Pelakunya sebagian besar berasal dari masyarakat ekonomi menengah ke bawah. Pada triwulan pertama 2024, berdasarkan temuan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), perputaran dana di judi online sudah mencapai Rp600 triliun, meningkat pesat dari total perputaran dana pada 2023 yang sebesar Rp327 triliun.
Vindaniar menyatakan bahwa untuk menutupi praktik judi tersebut, bandar meminjam rekening orang lain untuk mengumpulkan dana dari para pemain. Hal ini membuat para bandar dengan mudah melarikan uang para pemain ke luar negeri, sehingga Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kesulitan menelusuri transaksi yang terjadi.