JT - Komisi Informasi (KI) DKI Jakarta menerima hampir 200 sengketa informasi sepanjang tahun 2024, dengan mayoritas kasus tidak berkaitan dengan status informasi yang terbuka atau tertutup, melainkan karena ketidakmampuan badan publik dalam melayani permohonan informasi.
"Tahun ini sudah hampir 200. Di badan publik lain, yang ada desanya, sampai 400 sengketa informasi. Sederhananya, yang dipersoalkan bukan soal informasi terbuka atau tertutup, tetapi karena tidak dilayani (badan publik), karena tidak tahu cara melayani," kata Wakil Ketua KI DKI Jakarta Luqman Hakim Arifin di Jakarta, Jumat.
Baca juga : Empat Jalan di Jakbar Diperlebar demi Atasi Kemacetan
Menurut Luqman, badan publik memiliki kewajiban untuk menyediakan dan memberikan informasi kepada pemohon, sesuai dengan pasal 7 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Hal ini penting dalam rangka akuntabilitas, transparansi, dan keterlibatan.
"Jika ada pemohon informasi pada badan publik yang tidak dilayani atau tidak diberikan informasi, maka pemohon dapat mengadukan masalahnya ke Komisi Informasi (KI)," jelas Luqman.
Luqman menemukan bahwa banyak pihak yang datang untuk menyelesaikan sengketa informasi seringkali tidak memiliki pengetahuan terkait informasi publik. Oleh karena itu, diperlukan sosialisasi dan bimbingan teknis bagi badan publik, termasuk tentang membedakan informasi terbuka dan tertutup.
Baca juga : "Merajut Tali Ukhuwah: Pesan Khutbah Menyentuh di Jakarta Islamic Center
Informasi terbuka sendiri terbagi menjadi wajib berkala, tersedia setiap saat, dan serta merta. Contoh informasi terbuka antara lain profil badan publik, rencana kerja badan publik, laporan keuangan, anggaran, kegiatan, dan pengadaan barang dan jasa.
Sementara informasi bersifat ketat dan terbatas meliputi informasi yang dikecualikan, seperti informasi rahasia dan yang membahayakan negara menurut Undang-Undang, informasi persaingan usaha, informasi hak pribadi, informasi rahasia jabatan, dan informasi yang belum dikuasai.