JAKARTATERKINI.ID - Peneliti Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Profesor Dr. R Siti Zuhro, mendorong elit politik untuk mengambil pelajaran dari sejarah, terutama dari pengalaman Pemilihan Umum (Pemilu) pertama pada tahun 1955, dalam menjunjung tinggi konstitusi di Indonesia.
"Kita perlu menaruh harapan pada kehadiran politisi-politisi yang menghargai sejarah, di mana saat itu para pendiri dan tokoh bangsa hanya memiliki fokus pada cinta terhadap negeri ini, sehingga konstitusi dirumuskan dengan penuh perhatian, bahkan sampai terdapat aturan bahwa calon presiden haruslah pribumi asli," ungkap Siti dalam sebuah diskusi daring di Jakarta pada hari Rabu.
Baca juga : Nasdem: Kapolda Jateng Berniat Mencalonkan Diri di Pilkada
Diskusi dengan tema "Topik Seputar Kisah Presiden Terdahulu (Rahasia Tersembunyi)" diselenggarakan oleh Arsip Nasional Indonesia (ANRI) bekerja sama dengan BRIN untuk mengulas sejarah seputar Pemilu 1955.
Siti menjelaskan bahwa Pemilu 1955 dapat dipandang kembali sebagai sebuah pembelajaran sejarah karena dilakukan tanpa muatan kepentingan dan dilaksanakan dengan cara yang murni dan adil.
"Waktu itu tidak dikenal istilah pembelian suara, politik pencitraan, atau media yang menggandrungi, apalagi survei. Tidak ada survei pada masa itu, sehingga Pemilu berlangsung dengan keaslian yang lebih terjamin, seperti refleksi bahwa masyarakat tercermin melalui beragam partai," ujarnya.
Baca juga : Dedi Mulyadi Serahkan Penentuan Calon Wakil Gubernur kepada KIM untuk Pilgub Jabar 2024
Ia menjelaskan bahwa beberapa partai masuk dalam lima besar pada Pemilu 1955 dan mampu mewakili mayoritas masyarakat, seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Nahdlatul Ulama (NU).
"Pada saat yang sama, terdapat Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan ada juga partai Kristen, jika tidak salah," tambahnya.