JAKARTATERKINI.ID - Indonesia tengah menghadapi dilema dalam mendorong penetrasi mobil listrik di tengah kekayaan sumber daya nikel dan tenaga kerja produktif karena pemerintah merancang insentif untuk mobil listrik impor (CBU) yang menimbulkan pertanyaan tentang kemandirian energi dan pengembangan industri baterai kendaraan listrik (EV).
Insentif tersebut bertujuan meningkatkan pasar EV namun berisiko menghambat pembangunan industri berkelanjutan dan mempengaruhi kemandirian sumber daya mineral lokal.
Baca juga : Lima Produsen Otomotif di Korsel Tarik Lebih dari 117 Ribu Kendaraan karena Cacat Produksi
"Dalam sebuah kebijakan publik, termasuk industrialisasi, kita harus berpijak pada kajian teknokratis. Sejatinya, upaya menciptakan value added dalam industri baru dapat tercapai sepenuhnya ketika industri negara menguasai research & development,” kata Analis Politik & Kebijakan Negara dari FHISIP Universitas Terbuka, Insan Praditya Anugrah, dikutip dari keterangan persnya, Kamis.
Dia menambahkan, “Dalam pengembangan industri kendaraan listrik, kita harus berkaca pada kekurangan industrialisasi Orde Baru ketika prinsipal yang didominasi Jepang untuk menguasai fasilitas produksi dari hulu ke hilir, yang dalam industri Jepang dikenal sebagai Kieretsu,” katanya.
Peraturan Presiden yang baru mengharuskan produsen EV yang mendapatkan insentif untuk mendirikan pabrik manufaktur di Indonesia dan menaikkan kapasitas produksi, serta menawarkan model CBU baru hingga tahun 2025.
Baca juga : Chery Tiggo 9 Dipastikan Meluncur di Australia Pertengahan 2025
Amandemen ini memperpanjang insentif pajak berbasis Tingkat Konten Lokal (TKDN) hingga tahun 2030 untuk mencapai 80 persen kandungan lokal, sementara pembebasan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan bea masuk untuk produk CBU tetap berlaku.
Kebijakan ini diharapkan menarik investor global, tetapi meningkatnya jumlah mobil listrik CBU dapat merugikan produksi lokal dan mengganggu industri komponen, serta stabilitas lapangan kerja.