JAKARTATERKINI.ID - Guru Besar Bidang Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. Dr. dr. Agus Dwi Susanto, SpP(K), FISR, FAPSR, menyatakan bahwa rokok elektronik (elektrik) tidak memenuhi syarat sebagai modalitas berhenti merokok, seperti tidak menimbulkan risiko baru.
Menurutnya, suatu modalitas untuk berhenti merokok tidak boleh digunakan jika dapat menimbulkan risiko baru. Rokok elektronik di Indonesia terbukti dapat meningkatkan risiko berbagai penyakit paru, termasuk asma, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), pneumonia, pneumotoraks, dan kanker paru, meskipun tidak mengandung tar.
Baca juga : Catatan Harian Menantu Sinting Mulai Meriahkan Bioskop 18 Juli
Selain itu, rokok elektronik juga terbukti menimbulkan ketergantungan atau adiksi, berdasarkan studi di dalam dan luar negeri. Alasan lainnya adalah rokok elektronik tidak memenuhi syarat untuk membuat seseorang berhenti merokok konvensional.
Studi di Indonesia menunjukkan adanya penggunaan ganda atau multipengguna, di mana seseorang menggunakan rokok konvensional dan elektronik secara bersamaan. Hal ini bertentangan dengan syarat bahwa rokok elektronik harus digunakan sebagai pengganti untuk berhenti merokok konvensional.
Rokok elektronik di Indonesia juga tidak hanya digunakan sebagai terapi penarikan (withdrawal) saja. Agus menyebutkan bahwa rokok elektronik digunakan terus menerus, sedangkan terapi pengganti nikotin seharusnya hanya digunakan untuk membantu dalam fase penarikan.
Baca juga : LSF Promosikan Film Women From Rote Island Menuju Piala Oscar 2025
Bukti ilmiah dari berbagai jurnal juga menunjukkan bahwa rokok elektronik tidak dapat membantu berhenti merokok secara efektif, dengan tingkat keberhasilan yang tidak konsisten.
Agus juga menyoroti bahwa dosis penggunaan rokok elektronik justru meningkat, sedangkan syarat terapi pengganti nikotin adalah adanya penurunan dosis hingga mencapai nol.