JT - Tragedi yang melibatkan pesawat Jeju Air, dengan kerusakan roda pendaratan pada pesawat B737-800 yang jatuh pada Minggu (29/12/2024), telah memicu kekhawatiran mengenai tantangan pemeliharaan dan perawatan oleh maskapai berbiaya rendah (LCC).
Pengamat industri khawatir bahwa beberapa maskapai mungkin mengutamakan operasi pesawat dibandingkan pemeliharaan yang memadai, yang berisiko mengorbankan keselamatan penerbangan.
Baca juga : Israel Gunakan Anjing untuk Menyiksa Tahanan Palestina
Menurut data Kementerian Transportasi, maskapai domestik di Korea Selatan menghabiskan 1,99 triliun won (sekitar 1,35 miliar dolar AS) untuk pemeliharaan luar negeri pada tahun 2023, meningkat 58,2 persen dibandingkan dengan 2019.
Biaya pemeliharaan untuk LCC bahkan lebih tinggi, dengan angka 502,7 miliar won (sekitar Rp5,5 triliun), meningkat 63,6 persen.
Tingkat perbaikan pesawat oleh LCC di luar negeri tercatat mencapai 71,1 persen pada 2023, karena banyak LCC yang tidak memiliki kapasitas pemeliharaan internal.
Baca juga : Wanita 90 Tahun Selamat dari Reruntuhan Pasca Gempa Jepang
Sementara itu, hanya maskapai besar seperti Korean Air dan Asiana Airlines yang memiliki fasilitas pemeliharaan dan perbaikan (MRO) lengkap di dalam negeri, termasuk kemampuan untuk melakukan perbaikan mesin.
Jeju Air, misalnya, mengakui bahwa sebagian besar perbaikan besar dilakukan di luar negeri, meskipun beberapa perbaikan lebih kecil dilakukan secara lokal. Hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai ketergantungan maskapai pada layanan MRO luar negeri yang dapat berpotensi meningkatkan biaya dan mengurangi efisiensi operasional.