JT - Serangan drone yang menewaskan lebih dari 200 Muslim Rohingya di dekat perbatasan Bangladesh pada Senin (5/8) telah memaksa ratusan orang lainnya untuk kembali ke kampung halaman mereka. Ribuan lainnya masih berlindung di area persawahan, menunggu kesempatan untuk melintasi perbatasan Bangladesh, demikian laporan dari kelompok hak asasi manusia pada Minggu (11/8).
Dalam upaya melarikan diri dari kekerasan, beberapa ratus orang telah bergerak menuju daerah yang dikuasai oleh kelompok pemberontak Tentara Arakan, yang diduga berada di balik serangan drone mematikan tersebut di dekat Sungai Naf, batas alami antara Bangladesh dan Myanmar.
Baca juga : Warga Brussel Tuntut Gencatan Senjata di Jalur Gaza Palestina
Menurut Nay San Lwin, salah satu pendiri Free Rohingya Coalition, Rohingya di Maungdaw masih berusaha melarikan diri ke Bangladesh meski menghadapi risiko tinggi. Banyak dari mereka mencari perlindungan di daerah yang dikuasai oleh Tentara Arakan karena tidak ada alternatif lain yang aman.
Serangan mematikan ini terjadi di kota Maungdaw, negara bagian Rakhine, Myanmar, yang berbatasan dengan Bangladesh. Video di media sosial menunjukkan kondisi mengerikan dengan tubuh-tubuh berserakan di tanah berlumpur, sementara barang-barang mereka tergeletak di sekitar.
Serangan ini adalah bagian dari rangkaian kekerasan yang sedang berlangsung oleh kelompok pemberontak terhadap Rohingya, yang telah menimbulkan kekhawatiran akan eskalasi kekerasan lebih lanjut terhadap komunitas yang telah mengalami operasi pembersihan etnis oleh junta militer Myanmar.
Baca juga : Komisi Australia Desak Penyelidikan Kekerasan Seksual di Militer
Sejak penangkapan di Buthidaung pada Mei lalu, ribuan Rohingya telah melarikan diri ke Maungdaw. Tentara Arakan telah memaksa pemuda Rohingya untuk direkrut, mengancam akan membakar desa-desa mereka jika tidak menyediakan anggota pasukan.
Situasi kemanusiaan di daerah tersebut semakin kritis, dengan lebih dari 400 Rohingya dilaporkan tewas di Maungdaw sejak Juni. Kebijakan ketat Bangladesh yang tidak menerima pengungsi baru telah memperparah penderitaan mereka, dengan banyak yang ditolak di perbatasan dan beberapa dipaksa kembali ke Myanmar.